Pengalaman Mengikuti Lomba Hanyu qiao a.k.a Chinese Bridge
Hari ini saya akan menceritakan pengalaman (sedih) saat mengikuti lomba Hanyu qiao. Mungkin banyak dari kalian yang tidak tahu mengenai Hanyu qiao, berbeda lagi kalau kalian adalah mahasiswa jurusan bahasa Mandarin. Supaya lebih jelas, mungkin akan lebih baik kalau saya memperkenalkan diri secara singkat terlebih dahulu.
Saya adalah seorang mahasiswi angkatan 2014 jurusan Bahasa dan Sastra Mandarin di Universitas Negeri Surabaya. Mengapa saya mengmabil jurusan bahasa Mandarin? Jawabannya adalah karena saya tidak diterima di dua jurusan yang saya pilih dan jurusan bahasa Mandarin Unesa adalah pilihan terkahirku di jalur SNMPTN (Bersyukur karena masih bisa diterima jalur SNMPTN). Dan ternyata, rencana Tuhan memang benar dengan menempatkan saya di jurusan ini, karena banyak sekali pengalaman tak terlupakan yang saya dapatkan dengan menjadi mahasiswi jurusan bahasa Mandarin.
Dari dulu, saya termasuk pelajar yang (cukup) rajin belajar. Sampai kuliah pun, saya juga (cukup) rajin belajar. Apalagi setelah merasakan bahwa belajar bahasa Mandarin ternyata sangat menarik dan menyenangkan. Ya, saya sangat berminat dalam mempelajari bahasa, di SMA pun saya mengambil jurusan bahasa. Karena saya rajin, akhirnya nilai mata kuliah saya lumayan bagus, saya pun berani untuk mempraktikkan bahasa Mandarin dengan dosen native saya (Wang laoshi dan Ma laoshi), teman-teman pun sering meminta bantu saya kalau mereka ingin berbicara dengan dosen karena mereka pikir bahasa Mandarin saya bagus (Padahal biasa saja, yang penting pede). Dengan rajin itu lah saya juga bisa pergi Tiongkok secara gratis (Terima kasih Confucius Institute Surabaya sudah mengizinkan saya ikut winter camp secara gratis).
Singkat cerita, saat semester 4 (kalau tidak salah), dosen native saya, Ma laoshi, mengajukan saya untuk mengikuti lomba Hanyu qiao. Hanyu qiao adalah lomba keterampilan berbahasa Mandarin yang diadakan oleh Hanban, untuk lebih jelasnya kalian bisa buka websitenya Hanban. Tanpa berpikir dua kali akhirnya saya mengiyakan untuk mengikuti lomba tersebut, bersama lima orang lainnya (salah satunya adalah Febbe, teman baik saya dari Kalimantan) dari Unesa.
Ada tiga jenis lomba yang harus dilewati oleh peserta, yaitu tes pengetahuan umum Tiongkok (tertulis), pidato, dan keterampilan. Untuk lomba tertulisnya, susah .... ! (tapi ternyata nilai saya lebih tinggi dari teman saya yang lain). Untuk pidato..... rumit. Ketika kami berenam melakukan gladi bersih untuk pidato, Hou laoshi dan Guo laoshi yang mendampingi kami saat itu bilang bahwa penampilan saya yang paling bagus. Saya jadi lebih bersemangat. Tapi ketika lomba pidato dimulai, beberapa peserta lain yang tampil sebelum saya, banyak yang gugup, dan lupa teksnya! Saya jadi ikutan gugup. Padahal sebelumnya saya merasa percaya diri, apalagi ini bukan lomba pidato pertama saya (lebih tepatnya pidato pertama dalam bahasa Mandarin). Ternyata Hou laoshi dan Guo laoshi tahu kalau saya gugup, merekea berdua pun secara bergiliran memberi semangat dan dukungan, katanya. "Jangan gugup, santai aja, kamu pasti bisa. Semangat !!" dll (terima kasih banyak laoshi). Saya pun kembali percaya diri. Ketika giliran saya tampil, saya mampu beripadato dengan baik, seluruh orang di ruangan tersebut terpaku melihat saya, kecuali satu orang juri. Dia terus menunduk. Sampai pada akhirnya ketika ia mendongakkan kepala untuk melihat saya, dengan wajah yang menyeramkan itu... deg.. mendadak saya berhenti berpidato. Saya pun mencoba untuk fokus kembali, dan saya LUPA TEKSNYA !!! Padahal tinggal dua atau tiga kalimat lagi, padahal kalimat tersbutlah yang paling stunning... tapi bagaimana lagi... saya benar-benar lupa teksnya! Semua orang di ruangan bertepuk tangan untuk memberi semangat. Duh... saya malah jadi lupa dan tidak fokus! Guo laoshi pun langsung berdiri dan membuka mulutnya, memberi tahu kelanjutan teksnya (beliau sangat hafal dengan teks pidato saya). Akhirnya saya ingat kembali. Saya pun bisa menyelesaikan penampilan saya...
Saat saya menuju kembali ke tempat duduk, tiba-tiba Ma laoshi menghampiri saya dan bilang, "hen hao, hen hao." Oke, terima kasih, jawab saya dalam hati. Saya masih agak sedikit gugup walaupun sudah kembali duduk di kursi peserta. Saya merasa bersyukur karena hanya lupa dua atau tiga kalimat terkahir. Karena ada peserta yang lupanya benar-benar parah, sampai menangis di atas panggung! Namun saya jadi sedih ketika lomba pidato selesai, Guo laoshi bilang "mei shi, mei shi (tidak apa-apa)" kepada saya dan teman saya yang juga ada kelupaan sedikit waktu tampil tadi. Saya jadi merasa bersalah, karena Guo laoshi dan Hou loshi berharap banyak ke saya. Wajah Hou laoshi juga kentara sekali kalau beliau agak kecewa. Ya sudah lah... lupakan saja, semangat untuk lomba yag terkahir, yaitu unjuk keterampilan. Waktu makan, ada oma oma Cina yang bilang "kok banyak dari kalian yang lupa teks sih tadi?" Huhh...
Ma laoshi, dosen native favorit saya benar-benar tahu bagaimana cara memperlakukan orang yang sedang gelisah dan kesal. Ma laoshi memelukku, membahas masalah lain (membahas dosen laki-laki di jurusanku), foto selfie, memberi semangat dan lain-lain. Akhirnya saya bisa melewati lomba unjuk keterampilan dengan lancar. Oh iya, saya tampil menulis shufa.
Bukan berarti tim Unesa pulang dengan tangan hampa. Kakak tingkatu yang jago wushu, dapat juara kategori unjuk keterampilan dengan nilai tertinggi. Selamat ... !!!
Tim Unesa |
Bersama Guo laoshi, Hou laoshi, Ma laoshi dan Chen laoshi (direktur Confucius Institute Surabaya) |
Latihan shufa |
Bersama Ma laoshi (yang merah) *picture taken and edited by Ma laoshi |
Komentar
Posting Komentar