Biografi Nh. Dini
Nh. Dini (Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin)
Peraih
penghargaan SEAWrite Award di bidang sastra dari pemerintah Thailand ini sudah
terlanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia. Padahal, ia sendiri mengaku
hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman
pribadi, dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia
digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca Nh. Dini di Sekayu,
Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama Nh. Dini ini yang
terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal
(1972), La Barka (1975), atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983),
Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk
karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Budi Darma
menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan
kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan
bahwa ia akan marah jika mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender
yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul
Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia
mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap istrinya.
Ia seorang
pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu
Wijaya; ‘kebawelan yang panjang.’
Hingga kini, ia
telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu
bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat bahwa dia menceritakan
dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat kebarat-baratan, hingga norma
ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari
karya-karyanya. Akan tetapi, terlepas dari semua penilaian itu, karya Nh. Dini
adalah karya yan dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan
menjadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Nh. Dini
dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936 dari pasangan Saljowidjojo dan
Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Ulang tahunnya dirayakan empat
tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis
sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya
muncul.”
Ia mengaku
mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan
tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri
mengakui bahwa tulisan itu semacam pelapiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik
yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari
bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, tembang-tembang Jawa dengan aksara Jawa
dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk
watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipn sejak
kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya
kepadanya, ternyata Dini tdak ingin jadi tukang cerita. Ia malah bercita-cita
jadi sopir lokomotif atau masinis. Akan tetapi, ia tidak kesampaian mewujudkan
obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta
api.
Kalau pada
akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan
kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya,
biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu mebuatnya. Dan dalam
kenyatannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal
wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa
penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. “Barangkali renungan
dan khayalan itu yang membentuk perkembangan saya,” kata Dini.
Bakatnya
menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi
majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan
prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15
tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasioanal di RRI
Jakarta dalam acara Tunas Mekar.
Bukti
keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan
sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan
cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya,
Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia
menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi
redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara
di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia
memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA
Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Berseri di RRI
Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.
Pada 1956,
sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini
menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejak itu, karyanya terus
mengalir. Hingga kini, buku-bukunya mudah dijumpai di toko-toko buku. Beberapa
karyanya yang menjadi percakapan luas adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka
(1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati
(1986), Hati yang Damai (1998), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003).
Sejumlah
bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberpa kali. Hal yang sulit
dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah
Namaku Hiroko dan Keberangkatan. Ia juga menerbitkan serial karangan, sementara
cerpen dan tulisan lainnya juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam
keadaan sakit kepala sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal
memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan
melainkan sekadar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran jika
kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat
ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil
mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Pengarang yang
senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan
menganalisis. Ia merangakai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan
berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian
ditulisnya jika sudah terangkai cerita.
Dini
dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari
pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie Claire Lintang (kini 42 tahun) dan
Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan
anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai
konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana
suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke
Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis pada 1966. Dini
melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat
sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta
menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker
di pantai utara Prancis.
Setahun
kemudian, ia ikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia
pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal
Prancis. Dini berpisah dengan suaminya pada 1984, dan mendapatkan kembali
kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya
masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan
mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya
berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya
karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Oleh karena itu,
ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar
AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu,
Semarang.
Dini yang
pecinta lingkungan dan pernah ikut menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah
Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman
panjangnya bersama diplomat Prancis itu. Ia pernah jath bangun, tatkala
terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah berpisah. Kala itu, ada
yang bilang ia terserang tumor dan kanker. Namun, sebenarnya kandungannya amoh
sehingga blooding. Oleh karena itu, ia banyak kekurangan banyak darah. Secara
patologi memang ada sel asing. “Setelah lima tahun diangkat, sudah lolos.
Kandungan saya diangkat pada 1980. Ketika itu keluarga di sini tidak mau
tanggung, takut kalau saya tidak bangun lagi,”kenangnya.
Kepulangannya
ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya,
adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat
ladang lain, sekalipun dia mantan pramugari GIA, mantan penyiar radio dan penari.
Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Mengisi
kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai
penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok
bacanya di Sekayu. Sebagai pecinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan
bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan
tema transmigrasi.
Menjadi
pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini,
ia meminta royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari.
Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantuoleh
teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun
1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia
sering dititipi tanaman, kucing atau hamster, kalau pemiliknya pergi liburan.
Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah
menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup
sampai tahun 2000.
Dini kemudian
sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannyadibantu oleh
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang
hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta
rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11
juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh. Dini.
Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut
menyumbang, baik sebesar 10 ribu atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini,
mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli
kepadanya.
Sejak 16
Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia, yang semula
menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi,
Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengkubuwono X
yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal
emapt ribu buku dari tujuh ribu perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary
Club Semarang.
Alhasil, Dini
di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman
bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan
beragam bertema tabah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di
lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat,
tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan
petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua
buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh. Dini yang lahir di
Pondok Sekayu Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha
Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan
tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi
pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi
pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.
Dalam
kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. “Saya
tidak mau mengorbankan harga diri demi uang. Misalnya, saya disuruh membuat
biografi seseorang, dikasih bahan padahal bahan itu bayangan. Saya tolak, meski
pada saat yang sama saya butuh uang,” jelasnya.
Ia merasa
beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip –prinsip
hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah Nh. Dini
tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat
mengorbankan harga diri.
Komentar
Posting Komentar